Penulis : Ary Cahya Utomo
Sastrawan menulis buku non-fiksi? Bukan
hal aneh. Ilmuwan atau wartawan menulis cerpen atau novel? Juga banyak.
Umberto Eco menulis novel "In the Name of Rose" sebaik ia menulis
teori-teorinya tentang semiologi, Jean Paul Sartre dikenal sebagai tokoh
filsafat namun ia dinobatkan sebagai pemenang Nobel Sastra atas karya
novelnya, Sihar Ramses Simatupang adalah wartawan Sinar Harapan yang
tahun lalu meluncurkan sebuah novel berjudul Lorca, dan banyak lagi
contoh lainnya. Walaupun menekuni satu bidang memang baik karena
keterbiasaan akan membuat kualitas tulisan kita lebih bagus, namun tak
ada salahnya jika sesekali kita mencoba bentuk tulisan lain.
Bagi
penulis pemula, terutama yang sudah merasa 'nyaman' dengan jenis
tulisan yang ia geluti (fiksi atau non-fiksi) membuat suatu tulisan yang
berbeda dengan yang biasa ia tulis bisa menimbulkan kesulitan sendiri.
Berikut beberapa tips yang mungkin bisa Anda coba untuk mengatasi
kesulitan tersebut:
1. Sesuaikan referensi bacaan. Sebagaimana
bahan bacaan seringkali (kalau tidak selalu) mempengaruhi cara atau
kecenderungan kita dalam menulis, banyak membaca tulisan tertentu juga
akan mampu mengubah apa yang kita tulis. Jadi jika ada orang yang ingin
membuat sebuah tulisan fiksi yang baik, saya yakin dia tidak akan mampu
melakukannya kalau ia hanya membaca buku-buku teori yang berjudul
"Bagaimana Cara Menulis Fiksi yang Baik" sekalipun. Pelajaran paling
baik adalah dengan terjun langsung ke kancah bacaan fiksi itu sendiri,
bukan hanya menjadi pengamat dari luar. Hal yang sama juga terjadi pada
kasus sebaliknya. Seorang yang ingin mampu menulis karya non- fiksi atau
ingin merancang sebuah jurnal ilmiah akan sulit untuk menyampaikan
idenya secara sistematis, analitis dan jelas jika ia malah membaca karya
Shakespeare yang memakai bahasa yang penuh metafora.
2. Bagi yang ingin menulis tulisan non-fiksi. Tulisan jenis ini
menuntut kata-kata yang dapat dengan efektif menjelaskan makna.
Karenanya, latihlah diri Anda untuk menulis kalimat-kalimat bermakna
tunggal, tidak bersayap, atau dengan prinsip satu paragraf satu ide.
Karenanya kata-kata yang digunakan hendaknya juga lugas, jelas, dan
sebisanya menghilangkan metafora atau simbol-simbol yang sering terdapat
di bacaan sastra. Sebaliknya, bagi yang ingin menulis fiksi. Memperluas
pengetahuan kosakata, kiasan, dan melatih penempatannya dalam kalimat
adalah sangat penting untuk narasi maupun dialog dalam fiksi.
3.
Tulisan fiksi menuntut daya imajinasi tinggi, sementara non-fiksi
dibatasi oleh fakta dan aturan-aturan atau hukum tertentu. Jadi bagi
yang ingin menulis fiksi, latihlah kreativitas daya imajinasi dan juga
kemampuan mendramatisasi suatu adegan. Bagi yang ingin menulis non-
fiksi, berlatihlah menulis dengan selalu memperhatikan unsur-unsur
seperti 5W1H, cara mengutip dan menempatkan referensi, logika berpikir
tulisan dsb.
4. Berlatih dan berlatih. Seperti halnya setiap masa
belajar dan penyesuaian, proses ini juga membutuhkan banyak latihan. Tak
jarang ketika mencoba menulis non-fiksi, seorang yang terbiasa menulis
fiksi akan dikritik bahwa tulisannya berbelit-belit, tidak fokus dan
membingungkan pembaca. Seorang yang terbiasa menulis non-fiksi pada
awalnya mungkin juga akan dikritik cerpen buatannya terlalu kering,
bahasanya kaku dan kurang ekspresif. Ini adalah wajar, jadi jangan putus
asa.
5. Pada akhirnya, niat dan ketekunan adalah kuncinya. Tanpa
niat untuk melengkapi referensi data-data yang dapat mendukung sebuah
ide, sebuah tulisan yang dimaksudkan sebagai jurnal ilmiah hanya akan
berakhir menjadi sebuah tulisan komentar sambil lalu yang mudah
disanggah. Sementara tanpa ketekunan untuk melatih teknik narasi dan
dramatisasi, sebuah tulisan yang dimaksud sebagai cerpen sastra hanya
akan menjadi sebuah cerita bohong.
No comments:
Post a Comment